Idul Fitri
(oleh : Haidar Bagir)
Sudah banyak ditulis orang bahwa Idul Fitri adalah perayaan kembalinya kita kepada fitrah kita.
Dengan kata lain, kembalinya kita kepada kesucian sebagaimana waktu kita baru dilahirkan dari rahim ibu kita.
Bukankah, seperti diungkapkan sebuah hadis yang termasyhur, "semua anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitri (suci)"?
Dan bukankah, orang yang berpuasa - yakni orang yang berpuasa dengan penuh keimanan dan kepasrahan (ihtisab) diampuni dosa-dosanya yang telah lampau, kalau tak malah juga yang akan datang?
Padahal, bukankah dosa-dosa itu yang mengotori atau menutupi fitrahnya?
Rasulullah diketahui luas bersabda : "Kapan saja orang-orang mukmin berbuat dosa maka muncullah satu noda hitam di hatinya".
Ampunan Allahlah yang kiranya menghapuskan noda-noda hitam ini".
Ini juga sebabnya Idul Fitri juga dinamai "hari kemenangan".
Di hari ini semestinya orang-orang beriman dapat memproklamasikan kemenangan atas keliaran nafsu-nafsu -badaninya, setelah sebulan penuh ia melakukan shaum atau menahan diri dari berbagai syahwat dan perbuatan buruk yang dapat membatalkan puasa.
Itu sebabnya, di antara berbagai tradisi ucapan selamat yang disampaikan orang pada hari ini adalah : "Minal 'Aidin a-Faizin" (Semoga Anda termasuk orang-orang) yang kembali - kepada fitrah - dan orang-orang yang menang).
Tampak di sini bahwa kita diajar untuk berdoa agar kiranya puasa kita diterima sehingga kita termasuk orang-orang yang menang.
Nuansa do'a ini tampil lebih tegas dalam ucapan selamat - yang disebut-sebut sebagai lebih berakar dalam sunnah Nabi - yaitu :
"Taqabbalal- Laahu minnaa wa minkum, shiyaamanaa wa shiyaamakum"
(Semoga Allah menerima amal-amal kita dan amal-amal kalian, puasa kita dan puasa kalian).
Tetapi, sesungguhnya kebenaran kembalinya kita kepada fitrah dan kemenangan kita atas keliaran nafsu-nafsu badani kita baru dapat dikonfirmasi pada masa-masa setelah Idul Fitri itu sendiri.
Apakah benar bahwa pada masa-masa setelah itu akhlak dan amal-perbuatan kita menjadi lebih baik dan lebih sesuai dengan aturan Allah, atau, jangan-jangan, justru memburuk?
Bukankah Nabi mengajarkan, "tak sedikit orang-orang berpuasa yang hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga?"
karena puasanya yang tak memenuhi syarat-syarat keterkabulannya?
Maka, Idul Fitri hanya akan menjadi satu perayaan di antara banyak perayaan lain, yang tak bermakna apa-apa kecuali bersenang-senang, jika pada kenyataannya akhlak dan amal perbuatan kita - baik yang bersifat individual maupun sosial - tak mengalami peningkatan.
Jika ternyata kekuasaan kita akan nafsu-nafsu badani kita tak menjadi makin besar.
Jika tak lebih lama dari 1 Syawal cara dan gaya hidup kita telah sepenuhnya kembali kepada cara dan gaya hidup pra-puasa kita.Bahkan bagi orang-orang yang menjalani puasa dengan cara yang benar, dan kemudian benar-benar meraih kemenangan yang sesungguhnya, harus disadari bahwa Idul Fitri adalah momentum baru bagi kita untuk memperbaiki cara dan gaya hidup kita. Karena, jangan sampai manfaat puasa kita kembali kehilangan momentum bersama berjalannya waktu.
Masih beruntung kita jika penurunan kualitas itu masih menyisakan "kelebihan" - dalam hal akhlak dan amal-perbuatan kita -- hingga datangnya bulan Ramadhan mendatang, dan kita mendapatkan kesempatan lagi untuk men-charge kehidupan keruhanian kita.
Tapi, siapa yang dapat memastikan bahwa kita akan masih mendapatkan kesempatan untuk bertemu lagi dengan bulan Ramadhan?
Marilah kita terus menyadari kekurangan-kekurang an kita, memelihara apa saja - sesedikit apa pun - manfaat yang dapat kita peroleh dari puasa Ramadhan kita - agar Allah Swt. terus mengulurkan pertolongannya untuk meneguhkan hati kita, dan menyampaikan kita kepada bulan Ramadhan yang akan datang.
"Yaa muqallibal-quluub, tsabbit qalbii 'alaa diinik"
(Wahai Pembolak-balik hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu).
Minggu, 01 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar