Minggu, 01 Juni 2008

Laylah al-Qadr Milik Siapa?

Laylah al-Qadr Milik Siapa?
(oleh : Haidar Bagir)

Suatu kali, ketika Rasulullah sedang bersama para sahabatnya, seorang laki-laki Yahudi lewat.
Tiba-tiba Rasulullah berkata : "Orang ini akan mati tak lama lagi."

Namun, sore harinya, orang yang sama lewat lagi di hadapan mereka dalam keadaan segar-bugar, sambil memanggul seonggok kayu.
Sahabat pun terheran-heran : "Bagaimana mungkin orang yang sudah diramalkan mati oleh Rasul-Nya, masih bertahan hidup?"
Belum habis keheranan mereka, Rasul pun memanggil laki-laki itu.
Kemudian beliau meminta agar onggokan kayu yang di bawanya diturunkan dan dibongkar.

Dalam keterkejutan semua orang, dari dalam onggokan kayu tersebut merayap keluar seekor ular beracun.

Lalu Rasul pun menyatakan :"Seharusnya engkau telah mati dipatuk ular beracun ini? Perbuatan baik apa yang telah kamu lakukan?"

Maka laki-laki Yahudi itupun bercerita bahwa di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang miskin dan memberikan sedekah kepadanya.

Kisah ini adalah salah satu di antara banyak kisah lain yang menunjukkan kekuatan sedekah - dan amal-amal baik pada umumnya -- untuk mengubah takdir.

Sebaliknya, tak sedikit hadis yang mengajarkan kepada kita bahwa amal-amal buruk dapat menghilangkan perlindungan Allah atas kita, sehingga sesuatu yang buruk - yang seharusnya tak ditakdirkan atas kita - dapat menimpa kita.

Dalam doa' Nabi Khidhr, yang diajarkan kepada Kumayl oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib misalnya, kita didorong untuk menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat mendatangkan bala.

Di samping sedekah, adalah do'a yang mampu mengubah takdir.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketiga hal ini, sedekah dan amal-amal baik dan perbuatan buruk, serta do'a memiliki akibat langsung terhadap takdir kita.

Seperti telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, salah satu makna laylah al-Qadar adalah malam penetapan takdir manusia.

Jika hal ini kita kaitkan dengan ketiga hal yang dapat mempengaruhi takdir seperti disinggung di atas, maka segala hikmah malam ketetapan ini hanyalah mungkin menjadi milik orang-orang beriman yang telah banyak menabung amal-amal baik, khususnya perbuatan menyantuni manusia, berusaha sekeras mungkin dalam menghindar dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk, serta terus berdoa kepada Allah agar memilihkan takdir yang baik baginya.

Dalam konteks ini, perintah agar kita berjaga di malam-malam hari bulan Ramadhan, khususnya malam-malam tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir, untuk melakukan shalat malam, berzikir, dan berdoa, kiranya hanya efektif bagi orang-orang beriman yang telah memiliki dua prasyarat yang lain.

Sebaliknya, sebagaimana Islam mengajarkan kepada kita tentang prasyarat terkabulnya ibadah shalat pada umumnya, ibadah malam kita tak efektif dan hanya menghasilkan rasa capek kecuali jika disertai dengan upaya-upaya menyantuni manusia.

Lagipula, bukankah sejak awal sudah harus kita pahami bahwa bulan Ramadhan adalah madrasah untuk menanamkan semangat berkhidmat kepada sesama manusia?

Tapi, hendaknya siapa saja yang mendambakan laylah al-qadr pada bulan Ramadhan tahun ini tak berputus asa meski merasa tak cukup banyak memperhatikan keperluan sesamanya.

Marilah kita beristighfar dan bertaubat kepada-Nya sambil membulatkan tekad untuk terus meningkatkan khidmat kita agar dengan demikian Allah, dalam samudra Kasih-SayangNya, tetap membuka pintu berkah laylah al-Qadr bagi kita juga.

Tidak ada komentar: